Header Ads

Alili Kumbang Saray, Ketika Mainan Mengajarkan Kita Bahagia

Setiap datangnya bulan Ramadan, anak-anak di Kalimantan Selatan menyambutnya bukan hanya dengan suka cita keagamaan, tapi juga dengan ragam permainan khas yang memantik kenangan. Salah satu yang paling ikonik: alili kumbang saray. Bagi sebagian besar anak Banua, nama ini begitu melekat dalam memori masa kecil.

Mainan ini sebenarnya adalah kembang api kawat mini, yang saat dinyalakan akan memercikkan bunga-bunga api kecil seperti sulur yang menyebar. Sederhana, namun membahagiakan. Sensasinya begitu magis, apalagi dimainkan bersama teman sebaya di halaman rumah atau pelataran masjid. Rame sekali. Penuh tawa. Penuh cahaya.

Lalu, dari mana asal-usul nama alili kumbang saray?

Asal Nama: Serai, Percikan, dan Imajinasi Anak Banua

Meski belum ada data tertulis yang benar-benar menjelaskan sejarah penamaan ini, ada kemungkinan bahwa nama "kumbang saray" (kembang serai) diambil dari bentuk percikan apinya. Jika diperhatikan, saat alili ini menyala, percikannya menyebar menyerupai daun serai yang mengembang ke segala arah. Sebuah perumpamaan visual yang sederhana namun jitu. Sementara "alili" sendiri terdengar seperti pengulangan fonetik khas dalam lagu atau permainan anak.

Dalam penelusuran kanal Daily Adibah di YouTube, hal ini sempat dibahas meski masih bersifat hipotesis. Tak heran, sebab banyak warisan permainan tradisional kita memang tidak terdokumentasi secara tertulis, melainkan diwariskan lewat lisan, lagu, dan ingatan kolektif.

Bagi banyak orang yang tumbuh di era sebelum gawai, menyanyikan lagu “Alili kumbang saray, alili kumbang saray…” sambil menyalakan percikan kecil itu adalah bagian dari ritual Ramadan yang tak tergantikan. Nadanya khas, sederhana, namun melekat kuat dalam ingatan. Lagu itu mungkin tidak punya arti harfiah yang jelas, tapi fungsinya sangat terasa: membangun suasana, membingkai memori.

Harga alili kumbang saray sangat terjangkau, bahkan dulu satu kotak bisa dibeli dengan uang jajan seadanya. Uniknya, kotaknya juga bisa disulap jadi mainan baru, dipotong jadi kartu atau digunakan sebagai properti permainan lainnya. Biasanya, kotaknya bergambar tokoh kartun yang ikut menambah daya tarik di mata anak-anak.

Namun kini, mainan ini sedikit berubah. Bentuknya tampak lebih kecil. Kalau dulu panjang alili-nya hampir sama dengan panjang kotaknya (sekitar 50 cm), sekarang, meski kotaknya masih terlihat panjang, isinya hanya separuhnya. Mungkin karena pertimbangan biaya produksi atau margin penjualan. Tapi tetap saja, kilatan dan kenangannya masih sama.

Percikan yang Menghangatkan Ingatan

Mungkin alili kumbang saray hanyalah permainan kecil. Tapi bagi banyak dari kita, ia adalah penanda waktu. Ia hadir bukan hanya untuk menerangi malam Ramadan, tetapi juga menerangi ingatan kita akan masa kecil yang hangat, sederhana, dan penuh kebersamaan.

Di tengah derasnya gempuran teknologi dan budaya digital, mengenang permainan seperti ini adalah sebuah ajakan untuk kembali menyentuh akar: bahwa kebahagiaan kadang tak perlu rumit. Cukup percikan api kecil, teman bermain, dan lagu sederhana yang terus bergema dalam kepala, hingga kini.

Apakah Masih Ada Ruang untuk Percikan Sederhana?

Anak-anak Gen Alpha, mereka yang lahir di era digital dan tumbuh bersama tablet, smartphone, serta platform seperti YouTube Kids dan TikTok, memiliki dunia bermain yang sangat berbeda. Interaksi dengan mainan fisik perlahan tergantikan oleh permainan virtual. Mereka mengenal karakter dari animasi digital, bukan dari gambar kartun di kotak kembang api kawat.

Jika alili kumbang saray menawarkan percikan api sungguhan yang memantik tawa di halaman rumah, mainan anak sekarang banyak yang menawarkan dunia virtual yang imersif dengan suara, visual, bahkan augmented reality. Dalam satu sisi, kemajuan teknologi ini memberi banyak kemungkinan. Tapi di sisi lain, kita juga patut bertanya, apakah ada pengalaman yang hilang?

Mainan seperti alili mengajarkan anak untuk berbagi momen secara langsung, menghadirkan interaksi sosial tatap muka, dan mengasah imajinasi dari hal-hal sederhana. Sementara banyak mainan digital saat ini justru lebih personal, individual, dan terkadang membuat anak tenggelam dalam layar, sendiri, dalam dunia yang tak bisa disentuh.

Barangkali ini bukan tentang mana yang lebih baik, tapi tentang keberimbangan. Mengenalkan kembali permainan sederhana seperti alili kumbang saray bisa menjadi jembatan antara generasi. Mengajak anak-anak hari ini untuk sesekali merasakan permainan yang tak butuh sinyal, tak perlu baterai, tapi tetap menyala, di tangan dan di hati.


Referensi Tambahan:

1.Daily Adibah YouTube Channel, “Alili Kumbang Saray dan Kenangan Ramadan”

close
pop up banner