Soto Banjar dan Hal-hal Kecil yang Membesarkan Kita
Ada hal-hal yang tumbuh bersama kita, diam-diam mengisi ruang di antara waktu dan kenangan. Di Banjarmasin, salah satunya hadir dalam semangkuk Soto Banjar. Hangat, sederhana, namun penuh makna. Ia barangkali adalah pelipur, penanda hari, dan kadang, simbol pulang.
Seperti banyak makanan tradisional Indonesia, Soto Banjar punya perjalanan panjang yang membentang lintas budaya, generasi, dan cerita.
Namun dari sejarah yang jauh itu, ia tetap bisa hadir sebagai bagian paling akrab dalam keseharian urang Banjar di meja makan, di warung pinggir jalan, hingga dalam ingatan para perantau.
THE BANJARMASINER | Banjarmasin Through Words
Untuk memahami Soto Banjar, kita perlu melihatnya sebagai bagian dari peta kuliner Indonesia yang lebih luas, khususnya sejarah soto secara umum.
Penelitian oleh Ary Budiyanto dan Intan Kusuma Wardhani dalam “Menyantap Soto: Melacak Jao To” (2013) mengungkap bahwa soto kemungkinan besar berasal dari budaya Tionghoa. Kata “soto” diduga berasal dari istilah Hokkian seperti cau do atau jao to, yang merujuk pada sup jeroan yang dibumbui. Di masa lalu, para imigran Tionghoa membawa sajian ini ke wilayah pesisir utara Jawa sekitar abad ke-18 hingga ke-19. Mereka membuka rumah makan atau menjual soto dengan pikulan keliling.
Menurut sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, akulturasi makanan Tionghoa dan lokal ini menghasilkan soto dalam berbagai versi daerah. Di tempat yang mayoritas Muslim, penggunaan daging babi digantikan dengan ayam, sapi, atau bebek.
Soto Banjar diduga merupakan hasil dari proses adaptasi yang serupa, tapi dalam lanskap budaya Kalimantan Selatan yang unik.
Jika Banjarmasiners pernah mencicipi Soto Banjar, maka kita akan tahu bahwa aromanya berbeda dari soto lainnya dari daerah lain. Rempahnya dalam, hangat, dan terkadang menghadirkan rasa seperti masakan rumah nenek.
Cita rasa khas Soto Banjar datang dari komposisi rempah-rempah yang rumit namun harmoni. Di dalamnya terdapat kayu manis, biji pala, cengkih, kapulaga, dan kadang sedikit susu menjadikan kuahnya tidak bening sepenuhnya, melainkan agak keruh, lembut, dan nyaman lewat di lidah.
Tidak seperti soto ayam dari Jawa yang memakai kunyit untuk memberi warna kuning pada kuah, Soto Banjar tidak mengandalkan kunyit. Warna kuahnya berasal dari teknik tumis bumbu yang cermat dan rebusan kaldu ayam kampung.
Di dalam semangkuk Soto Banjar, biasanya terdapat suwiran ayam, irisan kentang rebus, wortel, telur rebus, perkedel, potongan ketupat, dan kadang bihun. Beberapa penjual juga menyajikannya bersama sate ayam atau kerupuk udang sebagai pelengkap. Di Banjarmasin, ada pula istilah “nasi sop”, yakni soto yang langsung disiramkan di atas nasi putih.
Ritual dan Kebiasaan yang Membentuk Memori
Bagi banyak urang Banjar, Soto Banjar bukan hanya menu sarapan atau makan siang. Ia bagian dari rutinitas yang membentuk kenangan. Makan Soto Banjar bisa menjadi ritual keluarga di hari Minggu pagi. Atau jadi pelipur lara di hari-hari kerja yang melelahkan.
Bahkan di perantauan, Soto Banjar sering jadi penghubung batin dengan tanah asal. Banyak warung soto di kota-kota besar di Indonesia (dan bahkan di Malaysia atau Brunei) membuka cabang dengan nama yang membawa embel-embel “Soto Banjar Asli”.
Salah satu contoh nyata adalah popularitas Soto Banjar di wilayah Jabodetabek. Di sana, banyak perantau Banjar membuka usaha kuliner yang memperkenalkan Soto Banjar kepada warga lokal. Cita rasa yang khas membuatnya cepat dikenal, terutama karena berbeda dari soto ayam atau soto betawi yang lebih umum.
Narasi Lain: Jejak Tentara dari Demak
Salah satu narasi lokal menyebutkan bahwa Soto Banjar dibawa oleh prajurit Kesultanan Demak yang pernah jadi bagian sejarah sebelum berdirinya Kesultanan Banjar. Saat mereka berlabuh di tanah Banua, mereka juga memperkenalkan resep soto ayam khas Demak. Dari sinilah, kemungkinan besar terjadi adaptasi terhadap bumbu dan bahan setempat hingga lahirlah versi khas Kalimantan Selatan.
Meskipun bukti tertulis yang mendukung narasi ini belum ditemukan secara kuat, kemungkinan ini masuk akal mengingat kuatnya pengaruh Jawa dalam sejarah awal Kesultanan Banjar, baik dalam struktur politik, agama, maupun budaya.
Soto Banjar juga bisa dibaca sebagai simbol adaptasi dan keberlanjutan budaya kuliner lokal. Dalam ilmu gastronomi, makanan seperti soto ini masuk ke dalam kategori cultural hybrid: makanan yang lahir dari percampuran, lalu menjadi identitas baru yang unik dan otentik.
Dalam konteks Banjar, Soto Banjar mencerminkan bagaimana masyarakatnya terbuka terhadap pengaruh luar tapi tetap mempertahankan keunikan rasa dan penyajian. Soto Banjar bukan hanya tentang bahan, tapi juga tentang "cara" tentang bagaimana ia dimasak, disajikan, dan dinikmati. Ini pula yang membedakannya dari sekadar varian soto belaka.
Hal-Hal Kecil yang Membesarkan Kita
Di tengah hiruk-pikuk zaman dan invasi makanan cepat saji dari luar, dengan semua distraksi, kecepatan, dan budaya instan yang menuntut segalanya serba cepat, Soto Banjar tetap hadir dengan cara yang tenang. Ia tidak berteriak, tidak mengejar tren, tapi selalu ada. Ia menjadi pengingat: bahwa dalam semangkuk makanan tradisional, tersimpan nilai-nilai yang tak kasat mata namun membentuk kita sejak lama.
Ketika kita menghirup aroma tumisan bawang putih di pagi hari, atau mencicipi kuah soto yang hangat, kita sebetulnya sedang merasakan lebih dari sekadar rasa. Kita sedang merasakan ketekunan orang yang menyiapkannya dengan sabar. Kita sedang menyentuh warisan yang turun dari satu generasi ke generasi berikutnya, lewat tangan-tangan yang tidak pernah lelah menyajikan yang terbaik dari apa yang tersedia.
Dalam proses memasaknya saja, Soto Banjar mengajarkan bahwa hal besar tidak pernah lahir dari terburu-buru. Membuat kaldu yang kaya rasa butuh waktu berjam-jam. Menumis rempah hingga harum butuh kesabaran. Menyuwir ayam, mengiris wortel, menyusun ketupat, semuanya adalah pekerjaan kecil yang jika dilakukan dengan sepenuh hati, hasilnya bisa menyentuh jiwa.
Kita sering menganggap besar itu harus spektakuler. Padahal, dalam banyak hal, hidup kita dibentuk oleh yang kecil-kecil: percakapan sederhana sambil makan soto di warung langganan. Senyum dari penjual yang mengenali wajah kita. Kehangatan di meja makan rumah ketika tubuh sedang lelah dan jiwa sedang mencari pulang.
Hal-hal kecil seperti ini, mungkin tak masuk berita atau dibicarakan dalam seminar. Tapi merekalah yang membangun pondasi emosional dan psikologis kita. Dari sanalah kita belajar rasa cukup, rasa syukur, dan kepekaan terhadap sekitar.
Soto Banjar, dalam segala kesederhanaannya, adalah cermin bahwa budaya besar dibangun dari kebiasaan kecil yang dijaga. Bahkan contoh nyata bahwa yang diwariskan tidak selalu berupa gedung megah atau gelar, tapi bisa berupa resep yang dimasak dengan cinta, semangkuk makanan yang menemani masa kecil kita, atau aroma rempah yang membuat kita merasa tidak sendirian.
Dan bukankah hidup pun begitu? Kita tidak selalu dibentuk oleh momen-momen besar. Kita dibentuk oleh yang sehari-hari, yang berulang, yang tampaknya sepele. Seperti mengucapkan terima kasih, menyeduh kopi untuk orang lain, atau menyajikan semangkuk Soto Banjar yang hangat di pagi hari.
Dalam dunia yang semakin bising dan terburu-buru, Soto Banjar mengajarkan kita satu hal: bahwa memperlambat, meresapi, dan menghargai yang kecil adalah bentuk kedewasaan dan perawatan diri. Ia tidak sekadar mengenyangkan, tapi menyadarkan bahwa dari hal-hal kecil, kebaikan bisa tumbuh. Dan dari situlah, kita semua dibesarkan. Bahkan bagi mereka dengan masa kecil yang mungkin kelam.
Post a Comment