Apakah Ide Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Masih Relevan untuk Banjarmasin?
Sebagai kota dengan jumlah penduduk terbesar di Kalimantan Selatan, tak heran jika Banjarmasin juga menghasilkan sampah paling banyak di Banua. Angkanya tak main-main. Data dari 2019 menunjukkan, setiap harinya ada sekitar 580 hingga 600 ton sampah yang dihasilkan, dan semua itu harus diangkut, dipilah, dan diurus setiap hari oleh 1.300 petugas kebersihan.
Jumlah itu setara hampir separuh dari total sampah di seluruh Kalimantan Selatan.
Dari Gagasan Lama
Ide untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Banjarmasin sebenarnya bukan hal baru. Gagasan ini sudah muncul sejak 2008, bahkan sempat beberapa kali dibahas dalam kerja sama dengan negara donor seperti Jepang dan Swiss. Namun hingga kini, proyek ini belum terealisasi.
Pada 2016, Pemerintah Kota Banjarmasin sempat menerima kunjungan dari perwakilan perusahaan energi asal Tiongkok, Anhui Energi Environment Protection Power. Rombongan dari Tiongkok bahkan diajak meninjau langsung TPA Basirih, dan menyebut bahwa Banjarmasin memiliki potensi untuk membangun PLTSa.
Waktu itu, Wakil Wali Kota Hermansyah menyatakan harapannya agar kerja sama ini bisa diwujudkan.
“Kami ingin ada solusi yang bukan hanya mengatasi sampah, tapi juga membantu memenuhi kebutuhan energi di kota ini,” ujarnya.
Tapi ia juga mengingatkan, “Kami perlu kepastian. Jangan sampai ini hanya jadi janji seperti yang sudah-sudah.”
Tapi... Masih Relevan Kah?
Di satu sisi, volume sampah yang kian menumpuk membuat ide ini terdengar masuk akal. Namun di sisi lain, muncul pertanyaan besar: apakah PLTSa memang solusi yang tepat?
Jawaban dari sejumlah aktivis dan pakar lingkungan membuat kita perlu berpikir dua kali. Paul Connett, ahli toksikologi dan aktivis lingkungan asal Amerika Serikat, bahkan secara terang-terangan menentang pembangunan insinerator (teknologi pembakaran sampah seperti PLTSa).
“Di Eropa dan Amerika, teknologi ini sudah dianggap usang. Tidak lagi relevan,” ujarnya dalam diskusi Zero Waste bersama Walhi di Bali, tahun 2020.
Menurutnya, PLTSa sangat mahal dan tidak berkelanjutan. Ia bahkan menyebut satu insinerator dengan kapasitas 1.000 ton per hari bisa menghabiskan biaya hingga 400 miliar dolar selama 30 tahun.
Belum lagi fakta bahwa sampah di Indonesia umumnya basah dan tercampur, tidak seperti di negara-negara yang sudah terbiasa memilah dari sumber. Artinya, proses pembakaran akan lebih mahal dan kurang efisien.
Belajar dari Daerah Lain
Riset Walhi juga menunjukkan, dari 12 kota yang ditunjuk pemerintah untuk mengembangkan PLTSa setelah terbitnya Perpres No. 18/2016 dan Perpres No. 97/2017, belum ada satu pun yang menunjukkan hasil signifikan.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun sempat angkat bicara, menyebut bahwa proyek seperti ini kurang visible. Ia menilai, PLTSa membutuhkan anggaran besar dengan risiko tinggi, dan hasilnya belum tentu sepadan.
Pertanyaannya kini: apakah Banjarmasin benar-benar perlu PLTSa?
Dengan jumlah sampah yang tinggi dan beban kerja petugas kebersihan yang tidak ringan, solusi teknologi memang dibutuhkan. Tapi apakah PLTSa adalah jawaban yang paling tepat dan paling masuk akal?
Sebelum memutuskan, mungkin inilah saatnya pemerintah kota melibatkan lebih banyak pihak: akademisi, komunitas lingkungan, praktisi teknologi, hingga warga biasa yang sehari-hari bersentuhan langsung dengan sampah.
Karena niat baik saja tidak cukup. Ia perlu dituntun oleh data, logika, dan keberpihakan terhadap masa depan yang berkelanjutan. Mungkin PLTSa bukan solusi yang buruk. Tapi bukan berarti ia satu-satunya.
Kalau kamu warga Banjarmasin, bagaimana menurutmu?
Perlukah kita membakar sampah demi listrik, atau justru mulai membangun kesadaran baru tentang mengelola sampah dari rumah sendiri?
Post a Comment