Kopi Laba-Laba: Legenda yang Masih Menggeliat di Tengah Kota
Kopi yang bagi sebagian orang Banua, bukan sekadar minuman. Ia bagian dari ingatan. Dari pagi-pagi yang pelan, dari dapur rumah yang hangat, dari obrolan di warung dekat pasar.
Tanyakan ke orang tua kita, atau kakek kita. Banyak dari mereka pasti tahu kopi ini. Bahkan mungkin, dulu mereka menyeduhnya sendiri tiap pagi. Konon, kopi ini sudah hadir sejak tahun 1970-an. Usianya memang tak muda, tapi justru di situ letak istimewanya: tetap ada, tetap diseduh, meski zaman berubah.
Di tengah gempuran kopi instan dan menjamurnya kedai-kedai bergaya modern, kopi Laba-Laba tetap bertahan. Diam-diam, tapi pasti. Seolah tak ikut hiruk-pikuk tren, tapi tetap punya tempat di hati mereka yang tahu rasanya tumbuh dengan kesederhanaan.
Tak banyak yang tahu kenapa namanya Laba-Laba. Tapi kalau melihat kemasannya, gambar laba-laba besar yang khas itu seperti jadi penanda. Ikon yang sejak dulu tak berubah. Sekilas, nuansanya mungkin mengingatkan kita pada Spiderman. Tapi tentu saja ini bukan soal pahlawan super, melainkan soal rasa yang membumi. Tradisional. Jujur.
Seorang budayawan Kalimantan Selatan, Zulfaisal Putra, pernah menyebut kopi ini sebagai “kopi legenda di Banua.” Dalam salah satu unggahan Instagram-nya, ia menulis bahwa generasi 70-80an di Kalsel mungkin hanya mengenal kopi ini. Dirintis oleh Ganang Alus, kopi Laba-Laba pernah begitu populer, bahkan melintasi Kalimantan hingga ke Surabaya.
Cita rasanya? Kental, hitam pekat, dan khas. Dulu kopi ini banyak diseduh dengan cara sederhana: air mendidih, bubuk kopi, sedikit gula. Tak ada alat canggih, tak ada takaran miligram. Tapi dari seduhan itu lahir kehangatan. Lahir kenangan.
Sekarang, kopi ini dilanjutkan oleh generasi keduanya, Ratona Arya. Masih dengan semangat yang sama: menjaga rasa, menjaga cerita.
![]() |
|
Berbeda dengan generasi muda seperti Adan, bagi Pak Nadar, seorang pria berusia lima puluhan, kopi Laba-Laba adalah definisi sejati dari ngopi. “Ngopi itu ya yang tebal, strong, baru terasa nikmat. Itu kopi Laba-Laba,” ujarnya mantap.
Tapi tetap, harus ada gula. “Kalau nggak dikasih gula, rasanya kayak ada yang kurang aja,” tambahnya sambil tersenyum. Ia sudah mengonsumsi kopi ini sejak muda dan menganggapnya sebagai kopi yang spesial.
Uniknya, selama ini ia tak tahu bahwa kopi Laba-Laba ternyata berasal dari Banjarmasin. “Wah, saya baru tahu itu dari sini, padahal udah minum bertahun-tahun. Pantes aja rasanya akrab,” katanya, seolah menemukan satu kepingan identitas yang selama ini terlewat.
Kalau kamu belum pernah mencobanya, mungkin ini saat yang tepat. Kamu bisa mulai dari cara klasik: diseduh panas, ditambah gula. Atau kamu bisa kreasikan sendiri, campur susu, bikin versi kamu. Tak ada yang salah.
Yang penting, rasakan pelan-pelan. Karena kopi ini tidak dibuat untuk buru-buru. Ia seperti pengingat kecil, bahwa tak semua hal harus dikejar. Kadang, kita hanya perlu duduk tenang, menyeduh, dan membiarkan rasa membawa kita pulang ke masa yang lebih sederhana.
Kopi Laba-Laba. Secangkir nostalgia dari Banua yang masih terasa hangat, bahkan setelah bertahun-tahun.
Post a Comment