Merasakan Apa Bedanya Soto Banjar dengan Soto Pak Harto Langsung di Semarang
Di dinding rumah makan itu, tergantung sebuah foto yang menarik perhatian: potret mantan Gubernur Jawa Tengah sekaligus mantan calon presiden, berpose bersama sang pemilik. Nama tempatnya sederhana, tapi cukup akrab di telinga warga Semarang: Soto Pak Harto.
Siang itu perut terasa benar-benar lapar. Perjalanan dari Banjarmasin dengan pesawat cukup menguras energi, dan pilihan untuk mampir mengisi perut jatuh pada rumah makan ini.
Bukan untuk sekadar membuat ulasan ala-ala, melainkan sekadar berbagi pengalaman. Apa yang membedakan soto khas Banjar dari Kalimantan Selatan dengan soto yang tersaji di kota Semarang? Itulah yang coba aku temukan di meja makan siang itu.
Dan begitulah, pengalaman menyantap semangkuk soto di rumah makan Soto Pak Harto pun dimulai.
THE BANJARMASINER | Banjarmasin Through Words
Ini bukan kali pertama aku menyambangi Soto Pak Harto. Dua tahun lalu aku sudah pernah ke sini. Namun, tetap saja ada rasa janggal setiap kali soto disajikan dalam mangkuk mungil seperti ini.
Sebagai orang Banua, aku terbiasa dengan Soto Banjar yang hadir dalam porsi besar: kuah kental, topping ayam suwir, telur rebus, hingga taburan bawang goreng yang melimpah. Kenyangnya bukan main. Itu belum ditambah seporsi sate yang dicelup juga ke dalam soto lho ya.
Sementara di Semarang, sotonya justru hadir dengan gaya berbeda. Satu mangkuk kecil, kuah bening, dan porsinya terasa lebih “ringan”. Sensasi mangkuknya ini kok malah mirip sedang menyeruput ronde atau es burjo, bukan semangkuk soto. Tapi enaaaaaak. Jujur, ini cocok dengan seleraku.
Perbedaan sederhana inilah yang membuat pengalaman makan terasa unik sekaligus mengundang senyum untukku sih.
“Mas, izin ya. Boleh ambil foto buat konten tulisan?” tanyaku sambil berusaha sumringah, sok akrab dengan pelayan yang sibuk hilir-mudik di rumah makan itu.
“Wokeh, Mas. Aman!” jawabnya cepat, sambil mengacungkan jempol dan bergaya seolah siap ikut difoto.
Ya sudah, aku pun tak membuang kesempatan. Kamera langsung kuarahkan, blasss… sekali klik, jadilah satu foto tambahan yang mempermanis catatan perjalananku siang itu.
Setelah puas memotret suasana dan menyimpan beberapa angle yang tersaji, aku kembali ke meja. Ternyata, semangkuk soto hangat sudah menanti di depan mata. Asapnya sedikit mengepul pelan, membawa aroma gurih yang menggoda.
Ada satu hal menarik yang langsung mencuri perhatianku, sesuatu yang tak kutemukan di Soto Banjar. Di sini, beberapa topping disajikan secara terpisah dalam mangkuk-mangkuk kecil. Ada telur rebus yang sudah dibumbui, suwiran ayam, sate hati, dan beberapa pilihan lain yang jujur aja, aku sampai lupa apa aja karena banyak. Tiap topping ini perlu dibayar terpisah, tapi dengan tambahan itu, seporsi soto jadi terasa jauh lebih mengenyangkan. Mangkuknya memang kecil, tapi efek kenyangnya lumayan nendang.
Begitu aku seruput kuah pertamanya, wooooaah... mantap banget. Meski kuahnya bening dan tak sekental Soto Banjar, rasanya tetap gurih dan sedap. Ada aroma bawang putih dan sedikit lada yang bikin rasanya makin kaya. Saat aku tambahkan sambal dan perasan jeruk nipis, semua rasa jadi naik level, pedas, segar, dan hangat menyatu dalam satu suapan. Uenaaaak. Nyamaaannn bannaaar. Nikmatnya sampai bikin lupa waktu. Setidaknya, menurut lidahku.
Soal rasa, jelas berbeda. Aku memang penggemar Soto Banjar, tapi soto seperti racikan Pak Harto ini juga punya tempat sendiri di lidahku. Keduanya enak, hanya karakternya yang tak sama.
Soto Banjar biasanya punya kuah yang lebih kental dan kaya rempah. Rasanya mantap, tapi saat kuahnya melewati tenggorokan, ada sensasi agak seret, mungkin karena konsistensinya yang lebih “berat”. Jadinya terasa seperti sedang menyantap makanan utama yang benar-benar mengenyangkan. Apalagi untuk karbohidratnya dalam bentuk ketupat yang dipotong, jadi lebih mantap saat memakannya.
Sementara itu, Soto Jawa seperti yang kusantap di warung Pak Harto terasa jauh lebih ringan. Kuahnya bening, tapi tetap gurih dan harum, dengan sentuhan aroma bawang putih yang khas. Rasanya membuatku teringat pada soto yang pernah kunikmati di Yogyakarta, seperti Soto Kadipiro, hanya saja versi yang di Semarang ini terasa sedikit lebih gurih, mungkin karena racikan bumbunya yang lebih berani. Disajikan tidak dengan ketupat, tapi nasi yang lumayan agak pera.
Kalau kamu orang Banjarmasin yang mencoba mencicipi soto ini, kamu bisa ke Jalan Kelud Raya Nomor 58, pinggir jalan kawasan Bendan Ngisor, Kecamatan Gajahmungkur, Semarang. Lokasinya cukup strategis dan gampang ditemukan lewat aplikasi peta. Meski tampak sederhana dari luar, kedai ini seolah menyimpan kekuatan dari dapur kecilnya. Semangkuk soto yang bisa membuat siapa pun ingin kembali lagi.
Soal harga, buat kantong orang Banjarmasin sepertiku, soto di sini tergolong bersahabat. Satu porsi dibanderol mulai dari Rp13.000-an saja. Tentu saja, kalau kamu tergoda menambah topping seperti telur, sate hati, atau ayam suwir harganya akan sedikit naik, tapi porsinya juga makin bikin kenyang.
Warung ini mulai melayani pembeli sejak pagi hari. Yang belum kudapatkan adalah cerita di balik soto ini. Siapa Pak Harto? Sejak kapan warung ini berdiri? Bagaimana racikan sotonya bisa bertahan dan terus disukai banyak orang?
Sayangnya, belum ada catatan sejarah yang bisa menjawab semua itu secara lengkap. Rasanya, informasi itu baru bisa didapat kalau kita duduk langsung bersama pemiliknya dan mendengarkan kisah dari sumber pertama. Nah saat itu, aku merasa males banget wawancara ke mas-mas di sana, karena udah capek perjalanan dari Banjarmasin ke Semarang. Hehehe. Maafkan.
Dan mungkin, itu yang akan kulakukan kalau kembali ke sini: bukan hanya mencicipi sotonya, tapi juga menggali cerita di balik semangkuk kehangatan ini.
(The Banjarmasiner)







Post a Comment