Basalamatan dan Tirakatan, Tradisi Banjarmasin dan Semarang yang Beda Rasa di Agustusan
"Kalau di sini, malam Agustusan, kami tiap tahun tirakatan mas. Setelah antar mas ini saya mau ikut tirakatan di dekat rumah saya sama warga lainnya," kata bapak pengemudi taksi daring yang aku pesan malam itu (16/8/2025) di Kota Semarang. "Di Banjarmasin gimana mas?"
Dan di Semarang, malam itu terasa lain. Bukan hingar-bingar kembang api atau dentuman sound system, melainkan kesunyian yang justru mengandung makna. Beberapa jalan memang masih dilewati motor dan mobil, tapi di gang-gang kecil, orang-orang sudah mulai berkumpul. Ada yang duduk lesehan di balai RT, ada juga yang memilih di serambi masjid atau halaman rumah. Suasananya tenang, lampu-lampu jalan menyala redup.
Kontras sekali dengan kebiasaan di Banjarmasin atau Kalimantan Selatan. Di Banjarmasin, kalau Agustusan biasanya lebih identik dengan lomba panjat pinang, makan kerupuk, atau karnaval. Ramai, meriah, dan penuh tawa. Tirakatan? Sejujurnya hampir tak pernah saya jumpai. Meskipun mungkin ada. Lalu, aku jadi bertanya-tanya: apa arti kemerdekaan kalau dirayakan dalam keheningan, doa, dan tirakat?
Menjelang tengah malam, di Semarang biasanya sekelompok warga duduk bersila di sebuah mushala atau di tempat ibadah sesuai kepercayaan masing-masing. Beberapa ibu-ibu menyiapkan teh panas dan kudapan sederhana, sementara bapak-bapak memimpin doa. Ada yang berpuasa sejak pagi, lalu berbuka seadanya sebelum ikut berkumpul. Doa bersama dilantunkan, sebagian berdzikir lirih, sebagian lain terdiam dengan mata terpejam. Malam kemerdekaan, bagi mereka, bukan sekadar pesta, tapi ruang renungan tentang syukur, tentang pengorbanan, tentang makna merdeka.
Tirakat, bagi masyarakat Jawa, bukan hal asing. Ini laku spiritual yang diwariskan turun-temurun: menahan diri, berdoa, menyalakan lilin atau pelita sebagai simbol penerangan batin. Ada tokoh agama yang memimpin tahlil, ada pemuda karang taruna yang memastikan acara berjalan rapi, bahkan ada anak-anak muda yang ikut duduk mendengar, meski sesekali terlihat bosan. Namun di balik itu, ada kesungguhan: merawat makna kemerdekaan bukan hanya lewat riuh, tapi lewat hening.
Di Banjarmasin sebenarnya ada juga tradisi semacam tirakatan, yaitu basalamatan, tapi bentuknya berbeda. Biasanya dilakukan saat ada hajatan keluarga entah itu kelahiran, pernikahan dan lainnya. Orang-orang berkumpul, membaca doa bersama, lalu makan dari hidangan yang disiapkan tuan rumah. Basalamatan di Banjarmasin lebih lekat dengan momentum personal atau keluarga, bukan momen kebangsaan. Jadi ketika saya melihat tirakatan di Semarang, saya merasa seperti menemukan wajah lain dari selamatan, tapi kali ini digelar bersama-sama untuk bangsa, bukan hanya untuk keluarga.
Barangkali ada semacam pesan yang disampaikan dalam momen ini oleh Warga Semarang dengan Tirakatannya. Mereka ingin merayakan kemerdekaan bukan hanya dengan pesta, tapi juga doa. Supaya bangsa ini tetap kuat, supaya anak cucu kita ingat kalau kemerdekaan ini titipan.
Pesta, lomba-lomba atau karnaval kita bisa lakukan kapan saja, tapi kalau doa bersama seperti ini untuk mensyukuri kemerdekaan, dan momennya hanya setahun sekali. Rasanya lebih menyentuh.
Aku sendiri, jujur, merasa tersentil. Di Banjarmasin, aku terbiasa melihat lomba-lomba seru, wajah-wajah riang, dan semangat kebersamaan yang riuh. Tapi di sini, aku melihat sisi lain dari kemerdekaan: kesyahduan, kesunyian, dan doa yang lirih. Aku bertanya dalam hati, apakah justru syukur yang hening ini lebih dalam daripada pesta yang meriah?
Tirakat di Semarang malam itu bagiku bukan sekadar tradisi lokal. Ia adalah warisan kultural sekaligus spiritual yang menjaga kemerdekaan tetap punya makna batiniah. Kemerdekaan tidak hanya dirawat lewat perayaan besar, tapi juga lewat doa-doa kecil di mushala, obrolan lirih warga di balai RT, dan renungan sederhana di tengah malam.
Dan mungkin, itulah pesan yang bisa aku bawa pulang: bahwa merayakan kemerdekaan tak harus selalu ramai. Kadang, hening dan doa justru memberi kita ruang paling jernih untuk benar-benar bersyukur. (The Banjarmasiner)
Post a Comment