A Native of Banjarmasin in Semarang: Did These Thoughts Cross Your Mind?
Aku melangkah ke dalam kawasan Kota Lama Semarang tepat di malam 17 Agustus-an. Lampu-lampu jalan berpendar kuning keemasan, menyoroti fasad bangunan tua yang sudah dicat ulang. Serasa tidak berada di Indonesia.
Di trotoar, sekelompok anak muda sibuk berfoto, sebagian lagi hanya ingin mengabadikan momen dengan ponsel. Ada pula yang berasyikmasyuk live di Tiktok sambil menyanyi, Sabtu (16/8/2025).
Ada tiupan saxophone dari street musician di pojok jalan. Tapi yang paling kuingat adalah lantai jalanan yang disusun dari semacam batako bersusun, entahlah apa namanya, yang jelas aku suka.
KOTA LAMA - Salah satu bangunan tua di Kota Lama Semarang. |
Esok, 17 Agustus, kota ini akan merayakan hari kemerdekaan. Tapi malam ini, suasananya sudah terasa. Bendera merah putih kecil maupun besar telah terpasang, dan orang-orang berjalan santai seolah sedang merayakan kebebasan itu sejak malam sebelumnya.
Bangunan-bangunan kolonial menjulang gagah, bikin serasa kembali ke abad lalu. Dari kejauhan, mata langsung tertuju ke Gereja Blenduk, gereja tua dengan kubah besar berwarna tembaga, berdiri megah di tengah kawasan, jadi ikon abadi Kota Lama.
Tak jauh dari situ, ada deretan gedung bank peninggalan Belanda yang masih terjaga rapi. Dulu jadi kantor keuangan kolonial, sekarang dipakai lagi, seperti gedung tua yang sekarang jadi Bank Mandiri, Bank Indonesia, dan beberapa gedung lain.
Arsitekturnya klasik, jendelanya tinggi-tinggi, tembok tebal, kokoh seakan menolak dikalahkan waktu.
Sebagai orang Banjarmasin, aku langsung terpikir satu hal: bagaimana kalau suasana ini dipindahkan ke kawasan tua kota saya sendiri, Pasar Sudimampir, Harum Manis atau Ujung Murung. Kawasan itu juga menyimpan bangunan peninggalan Belanda, tapi wajahnya jauh berbeda.
Di sini, bangunan-bangunan dicat ulang, pencahayaan diatur, kawasan ditata sehingga turis betah berlama-lama. Di Banjarmasin, bangunan tua kadang tersembunyi di balik papan reklame atau terhimpit kios yang tumbuh tanpa arah.
GEREJA - Berdiri kokoh dan dirawat baik |
Perbandingan itu terasa makin kuat ketika aku menuliskan data di catatan. Kota Semarang punya luas wilayah sekitar 373 km² dengan jumlah penduduk 1,6 juta jiwa. Banjarmasin? Hanya 98 km² dengan 700 hingga 800 ribu jiwa. Rasanya seperti membandingkan satu loyang roti tawar dengan hanya sepotong kecil di sudutnya. Tapi potongan kecil itu punya rasa sendiri. Aku percaya, kalau saja kawasan tua di Banjarmasin diberi sentuhan yang tepat, ia bisa jadi sama menariknya dengan Kota Lama malam ini.
Di Kota Lama, sejarah dan modernitas berpadu. Bangunan Belanda yang dulu bisu, kini hidup lagi. Di Banjarmasin, bangunan tua itu masih menunggu. Menunggu disentuh, dirawat, diceritakan kembali.
Kawasan Kota Lama Semarang, menampakkan wajah yang kini tercerahkan oleh lampu-lampu hangat dan bangunan kolonial yang telah dimodernisasi. Dulunya, lebih dari satu dekade lampau, Kota Lama bukan tempat yang ramah.
Bangunan tua banyak yang rusak, jalanan gelap, penerangan minim. Namun seiring waktu, pemerintah kota menggandeng berbagai pihak, menggelontorkan anggaran termasuk sekitar Rp183 miliar dari Kementerian PUPR untuk merombak fondasi kawasan menjadi lebih rapi, aman, dan siap menyambut wisatawan.
Hasilnya terasa dramatis. Kini, trotoar Kota Lama tertata dengan paving batu alam, bangunan tua seperti Gereja Blenduk, Spiegel, dan Marba muncul dengan wajah yang dipoles, siap dijadikan latar foto yang tak lekang waktu. Keamanan juga ditingkatkan: pengemis dan tunawisma lebih tertib ditertibkan, penerangan ditambah, kawasan terasa hidup kembali, dan minat masyarakat urban mulai tumbuh untuk berkunjung.
Sementara itu, tak jauh dari sana, Lawang Sewu yang pernah tampil suram dan angker, rinding kusam, cat terkelupas, suasana gelap, serta kisah-kisah mistis yang menyertainya telah menjalani transformasi serupa.
Pada 2009, bangunan ini tercatat dalam kondisi “sakit dan gelap,” tetapi sejak renovasi besar-besaran diresmikan tahun 2011, tempat ini dibuka sebagai destinasi sejarah modern.
Lawang Sewu kini telah dikembangkan sebagai museum dan ikon wisata kota. Pemerintah Kota bersama PT KAI memaksimalkan potensi ekonomi melalui pengelolaan yang memperkuat nilai historisnya tanpa menghilangkan esensi arsitekturnya.
Wisata malam seperti Lawang Sewu Night Tour bahkan ditawarkan sebagai daya tarik baru, menjadikan bangunan ini kini bukan hanya monumental secara estetika, tetapi juga produktif secara ekonomi dan budaya.
Banjarmasin juga punya
Banjarmasin punya warisan yang kaya, terutama di kawasan Pasar Sudimampir dan Ujung Murung. Tercatat bahwa Pasar Sudimampir mulai dibangun sekitar era 1937--1942 dan pernah menjadi pusat grosir yang ramai dikenal sebagai "Tanah Abang-nya Banua"
Ini adalah modal budaya yang sangat kuat. Pemerintah kota bisa memanfaatkan aspek historis tersebut sebagai daya tarik utama mengemas ulang pasar-pasar ini bukan sekadar sebagai tempat jualan, tapi ruang publik bersejarah yang punya cerita untuk dibagi ke pengunjung.
Kawasan ini menyimpan potensi wisata, tapi kondisinya masih acap kali digambarkan sebagai kumuh dan rawan premanisme. Beranjak dari situ, sejak SHGB habis pada 2022, pengelolaannya kini dialihkan ke Pemkot Banjarmasin, dengan target retribusi mencapai Rp300 juta per tahun dan rencana renovasi mulai 2024. Ini adalah langkah positif menandakan bahwa pasar bisa dikelola lebih profesional, bukan sekadar administratif, tapi juga arah estetika dan kenyamanan.
Menciptakan wisata berbasis budaya dan komunitas
Tidak jauh dari pasar-pasar tradisional kita, ada potensi besar untuk memunculkan daya tarik baru lewat event atau festival lokal. Sekilas dari ruang-ruang publik kota lain, ide seperti festival kuliner malam atau pasar seni kreatif komunitas bisa diaplikasikan di Pasar Sudimampir atau Harum Manis. Selain menambah kesan hidup dan modern, ini juga membuka peluang pemasukan bagi pedagang lokal dan pelaku UMKM.
Kalau ditarik kesimpulan, Kota Banjarmasin sebenarnya punya modal kuat untuk mengembangkan wisata kota, mulai dari sejarah, sungai, hingga pasar tradisionalnya yang unik. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk menata ulang dengan lebih serius, seperti halnya Semarang dengan Kota Lama dan Lawang Sewu. Penataan yang konsisten, dukungan infrastruktur, serta pelibatan warga bisa membuat kawasan seperti Pasar Sudimampir, Ujung Murung, atau Harum Manis tampil dengan wajah baru yang lebih ramah wisatawan tanpa kehilangan karakter lokalnya.
Intinya, wisata kota tidak hanya soal menampilkan bangunan atau kawasan, tapi bagaimana sebuah tempat bisa menghadirkan pengalaman yang nyaman, teratur, dan tetap otentik bagi siapa saja yang datang. Kalau Banjarmasin bisa bergerak ke arah itu, bukan tidak mungkin kota ini akan punya daya tarik wisata yang lebih besar dan mampu bersaing dengan kota-kota lain di Indonesia.
Aku melanjutkan langkah, menyusuri jalan setapak Kota Lama. Malam makin larut, tapi orang masih datang silih berganti. Ada yang bersepeda, ada yang membawa anak-anak kecil. Aku melihat wajah-wajah penuh senyum, menikmati ruang publik yang indah. Dan aku membatin: bagaimana kalau suatu malam, kawasan tua di Banjarmasin juga bisa seramai ini? Bagaimana kalau sejarah kotaku tak hanya jadi catatan di buku, tapi hadir nyata dalam bentuk ruang yang hidup?
Malam ini katanya, orang-orang akan bertirakad, di kompleknya, gangnya, kampungnya, berdoa bersama dan bersyukur atas kemerdekaan bangsa ini. Tirakad semacam ini masih "asing" bagiku sebagai orang Banjar.
Sebagai jurnalis, perjalanan ini, di Kota Lama mengajarkanku, bahwa sejarah bisa disajikan kembali, tanpa kehilangan nilai aslinya. Bahwa bangunan tua bisa jadi sumber ekonomi, sekaligus pengingat akan masa lalu.
Di Banjarmasin, sungai adalah identitas. Di Semarang, malam ini, identitas itu adalah Kota Lama. Dua-duanya bisa berjalan berdampingan dengan modernitas, asal ada keberanian untuk merawatnya. (The Banjarmasiner)
Post a Comment