Header Ads

Abdul Khair dan Seni Meyakinkan

Di ruang keluarga sederhana di pinggiran Banjarmasin, mimpi kuliah tak pernah jadi bahan obrolan. Ayahnya seorang kuli lulusan SD, ibunya hanya sempat mencicipi bangku sekolah dasar. Bagi kebanyakan kebiasaan di keluarga mereka, tamat SMA berarti langsung bekerja, entah jadi penjaga toko atau buruh harian. Tapi Abdul Khair, yang lahir pada 27 September 1994, tumbuh dengan keyakinan lain: bahwa pendidikan bisa membuka pintu yang selama ini terkunci bagi keluarganya.

ABDUL KHAIR - Berjuang dari keterbatasan.
Ia sempat lolos ke Universitas Indonesia lewat jalur undangan, tapi niat itu kandas karena keluarga menolak mengurus kuliahnya. “Mereka tidak bisa membayangkan seberapa pentingnya pendidikan tinggi bagi masa depan keluarga kami,” kenangnya.

Tak menyerah, ia memanfaatkan tabungan dari hasil mengajar musik sejak kelas dua SMA untuk mendaftar jalur tes tertulis di Universitas Lambung Mangkurat. Dari sana, jalannya mulai terbuka. Ia mengandalkan beasiswa PPA untuk membiayai UKT, sekaligus membangun portofolio akademik yang cemerlang.

Tahun 2016, Khair terpilih sebagai mahasiswa berprestasi sekaligus yudisiawan terbaik di fakultasnya. Di tingkat nasional, ia menjadi satu-satunya delegasi dari Kalimantan Selatan dalam Forum Hak Atas Kota di Universitas Indonesia, berdialog langsung dengan Ketua Apeksi. Masih di tahun yang sama, bersama timnya, ia menyabet gelar Tim Terfavorit dalam ajang IDEAS UGM berkat gagasan pembangunan kota berkelanjutan.

Rangkaian prestasi itu mengantarnya pada beasiswa S2 Ilmu Komunikasi di Uniska. Tahun 2024, ia lulus dengan predikat wisudawan terbaik menandai perjalanan panjang seorang anak kuli yang berhasil menembus batas-batas takdir yang diwariskan lingkungannya.

Beasiswa memang menutup biaya kuliah, tapi tidak cukup untuk menopang hidup dirinya dan keluarga. Untungnya, Khair punya modal lain: empat tahun pengalaman melatih teater di SMAN 7, yang memberinya bekal menulis naskah dan sastra. Dari situ ia mulai bertanya, apa yang paling dibutuhkan dunia hari ini dari seorang penulis dan bisa cepat menghasilkan? Jawabannya adalah copywriting: keterampilan meramu kata untuk media sosial, iklan, hingga branding lembaga.

Langkah itu membuka pintu klien besar, mulai dari Hasnur Group, Pertamina, Dinas Kebudayaan, Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Banjarmasin, Bappeda Litbang Kotabaru, hingga kontrak pelatihan di 13 kabupaten/kota bersama Dinas Pariwisata Provinsi Kalimantan Selatan. 

Dalam perjalanannya, Khair menemukan banyak produk lokal yang sebenarnya bagus, tapi tidak punya narasi yang kuat. Bahkan setelah narasi dibuat, banyak pelaku usaha masih kesulitan pitching agar bisa menang kompetisi, meraih hibah, atau menarik investor.

Dari situlah ia menyadari: kemampuan menulis adalah pondasi penting. Jika peserta dibekali keterampilan ini sejak awal, proses pitching akan jauh lebih mudah karena mereka punya deck yang rapi dan meyakinkan. Ide itu kemudian melahirkan gerakan Menang Lewat Menulis, yang kini berevolusi menjadi Juwara Bicara Academy.

Pengalaman pitching pertama yang paling deg-deg-an dan ternyata berhasil baginya adalah saat kompetisi mahasiswa berprestasi dimana setiap orang diminta mempresentasikan pengalaman, pergerakan, dan penelitian mereka, agar dianggap layak menjadi mahasiswa berprestasi

"Banyak orang mengira, menulis itu hal yang sulit dijual. padahal, kalau branding terbentuk dengan baik, tau funnel dalam menjualnya maka akan jauh lebih mudah," katanya.

Bagi Khair, menulis bukan sekadar cara menuangkan pikiran ke dalam buku. Ia memilih dunia ini sebagai ladang pekerjaan, satu-satunya hal yang tak pernah membuatnya bosan.

Dalam urusan pitching, ia banyak terinspirasi dari sosok-sosok lintas bidang: Vin Ghuang, Steve Jobs, hingga para kreator Indonesia seperti Raditya Dika, Panji Pragiwaksono, dan Ernest Prakasa. Dari mereka ia belajar bagaimana membungkus ide agar terdengar meyakinkan dan dekat dengan audiens. Kelas-kelas online yang ia ikuti membuatnya merasa seolah memiliki para mentor, meski tak pernah bertatap muka secara langsung.

Sebelum menulis, Khair punya ritual sederhana yang ia sebut metode “kristalisasi ide.” Semua gagasan ia tumpuk dulu dalam satu catatan, lalu perlahan dikurasi hingga membentuk satu kesatuan yang saling melengkapi. Proses itu sering dimulai dengan melamun: menatap hamparan hijau, atau sekadar duduk di tepi sungai sambil membiarkan pikiran mengendap.

Baginya, ada perbedaan besar antara sekadar pintar berbicara dan benar-benar mampu meyakinkan. Public speaking mengajarkan cara bicara yang baik, tapi jarang menyentuh seni persuasi. Di situlah pitching dan copywriting mengambil peran. Keduanya sama-sama bertumpu pada bahasa persuasif, yang harus dipahami dulu di atas kertas sebelum dilontarkan di depan audiens.

Pengalaman lain yang memperkaya pandangannya datang pada akhir 2017, ketika ia terpilih mewakili Indonesia dalam Delegasi Pertukaran Pemuda Kreatif Tokyo yang diselenggarakan Kemenpora. Dari 80-an peserta nasional, hanya 15 yang lolos, dibagi ke tiga negara: India (teknologi), Tiongkok (budaya), dan Jepang (ekonomi kreatif). Khair termasuk yang berangkat ke Jepang, belajar selama dua minggu di Keio University tentang bagaimana negeri itu mengolah budaya menjadi kekuatan ekonomi kreatif.

Dari pengamatan langsung, ia melihat bagaimana Jepang membangun city branding dengan sangat jelas. Osaka dikenal sebagai kota tradisi, Tokyo dengan wajah urban. Bahkan di dalam Tokyo sendiri, tiap koridor punya identitas: Harajuku untuk mode, Akihabara untuk anime dan gim, hingga distrik-distrik lain dengan segmentasi khusus. Semuanya terkotak dengan rapi, sehingga wisatawan tahu persis mau ke mana dan untuk apa.

“Di Indonesia, sering kali semua hal dicampuradukkan dalam satu destinasi, sehingga pemerataan tak tercapai,” ujarnya. Dari Jepang pula ia menyaksikan automasi robot di hotel dan restoran, fenomena yang sudah berjalan sejak 2018, jauh sebelum AI marak di Indonesia. Kesadaran itulah yang mendorongnya menulis buku Kreatif Sejak Dalam Pikiran, sebuah refleksi tentang masa depan di mana teknologi masuk lebih dalam, dan manusia ditantang untuk tetap menemukan nilai dirinya.

Salah satu pengalaman yang paling berkesan bagi Khair terjadi di luar negeri. Sebagai manajer Kune Studio, ia berkesempatan melakukan pitching langsung di hadapan Sultan Malaka, tepat di dalam istana. “Alhamdulillah, kami menjadi pemuda pertama dari Indonesia yang dijamu di sana,” kenangnya. Proyek itu pun lolos, bahkan berlanjut dengan kolaborasi membangun karya seni di salah satu situs UNESCO di Malaka, Malaysia.

Meski begitu, jalan pitching tak selalu mulus. Ada satu pengalaman yang masih membekas: saat ia bersama yayasan Tumbuh.Go lolos hingga final seleksi hibah nasional. Dari ribuan peserta, hanya 25 yang tersisa, tapi langkah mereka terhenti di babak akhir. “Ada beberapa komponen yang kurang menarik minat juri,” ujarnya. Rasa kecewa itu berubah jadi pelajaran penting soal membangun pitch deck yang lebih solid. Kekalahan tersebut bahkan ia tebus dengan kemenangan nasional ketika mewakili Kota Banjarmasin dalam presentasi program kota pada 2024.

Dari berbagai pengalaman itu, Khair makin paham tantangan besar yang dihadapi pelaku UMKM dan ekonomi kreatif. Banyak dari mereka yang belum akrab dengan copywriting dan pitching. “Rasanya seperti kembali ke SMA, belajar pelajaran bahasa yang dulu dianggap membosankan, tapi ternyata penting,” katanya sambil tertawa. Menurutnya, membangun dasar-dasar penulisan yang baik memang butuh waktu, sebelum bisa naik ke teknik persuasi yang lebih rinci.

Ia lalu mengibaratkan copywriting seperti memasak. Jika bahannya hanya tahu dan tempe, hasil masakannya akan sebatas itu saja. Begitu pula dengan menulis persuasif, kemampuan seseorang sangat dipengaruhi oleh luasnya literasi. “Kalau ingin terus berkembang, literasi juga harus ikut tumbuh, sesuai tuntutan zaman,” ujarnya.

Pada akhirnya, pitching adalah seni yang berbeda dengan public speaking. “Keterampilan pitching itu fokus agar didengar, dipercaya, dipilih, dan diapresiasi. Fokusnya ada pada feedback. Sementara public speaking lebih menekankan pada delivery,” jelas Khair. Bedanya lagi, tak semua orang suka mendengar. Karena itu, bicara yang baik saja tak cukup. Pitching yang efektif harus mampu membuat pendengar terlibat, sehingga lebih mudah untuk dipersuasi.

Kini, Khair tengah merintis Juwara Bicara Academy, sebuah sekolah kecil yang ia impikan sebagai ruang aman untuk belajar pitching dan public speaking. Modul pembelajaran sudah ia susun, dengan harapan banyak orang semakin sadar bahwa keterampilan komunikasi sama pentingnya dengan kualitas produk.

Bagi Khair, latar belakang bukanlah penghalang. “Tidak penting di mana kita berdiri, atau dari mana kita berasal. Yang terpenting adalah bagaimana kita berdiri, dan ke mana kita akan sampai,” ujarnya tegas. Status underprivileged, menurutnya, bukan alasan untuk meratap. “Terima saja, lalu pikirkan cara keluar dari situ.”

Ia juga membuka pintu bagi siapa pun yang ingin bergabung. “Bisa DM ke Instagram @Khairkreatif. Segera akan ada launching Juwara Bicara Academy, dan bisa menghubungi admin di sana,” tambahnya.

Baginya, seluruh perjalanan hidup ini bisa dirangkum dalam satu kalimat sederhana: “Menang lewat menulis adalah rangkuman hidup saya. Tanpa menulis, tidak ada hidup yang saya menangkan. Maka, saya ingin lebih banyak orang bisa menang lewat menulis.”

close
pop up banner