Sasirangan Pewarna Alami: Warisan Banjar yang Menggoda Pasar Premium Eropa
Di sebuah rumah produksi sederhana di tepi Sungai Martapura, Banjarmasin beberapa lembar kain putih dijelujur benang secara manual, membentuk motif khas seperti kulit kayu, ombak sinapur karang, dan naga balimbur. Di ruang sebelah, potongan-potongan kayu dan daun direbus untuk menghasilkan warna alami. Beginilah proses pembuatan sasirangan pewarna alami, kain khas masyarakat Banjar yang kini mulai dilirik sebagai produk eco-luxury di pasar mode Eropa.
![]() |
| Foto: Instagram @semilir_ecoprint |
Berbeda dari sasirangan yang menggunakan pewarna sintetis yang cepat, murah, dan warna mencolok sasirangan pewarna alami menawarkan sesuatu yang lebih subtil dan bermakna. Proses pembuatannya lambat, penuh ketelitian, dan menggunakan bahan-bahan dari alam Kalimantan seperti daun mangga, kulit rambutan, buah mengkudu, hingga serbuk kayu ulin.
Di tengah dunia fashion global yang mulai lelah dengan produksi massal, konsumen kelas atas di Eropa justru mencari produk yang menawarkan cerita, eksklusivitas, dan keberlanjutan. Dan di titik inilah, sasirangan pewarna alami menemukan momentumnya.
Mereka tidak hanya membeli produk, mereka membeli proses, nilai, dan warisan, Warna lembut dari pewarna alami justru dianggap lebih artistik dan cocok dengan tren slow fashion yang kini sedang naik daun di Eropa.
Sejumlah perajin Sasirangan di Kalimantan Selatan mulai fokus mengembangkan sasirangan pewarna alami untuk pasar yang lebih selektif. Mereka sadar, di era konsumen sadar lingkungan, pewarna sintetis bukan lagi keunggulan, justru bisa jadi hambatan.
Penggunaan pewarna alami sebenarnya bukan hal baru. Sejak masa awalnya, kain-kain ritual Banjar memang dibuat dari bahan alam. Namun, dalam perkembangan industri tekstil, pewarna sintetis menjadi dominan karena lebih praktis. Kini, ketika isu lingkungan makin mendesak, pewarna alami justru menjadi nilai jual tersendiri.
Di Eropa, tren produk ramah lingkungan tumbuh pesat. Masyarakat semakin menghindari produk fast fashion yang menimbulkan limbah, dan mulai beralih ke brand yang mengusung keberlanjutan. Kain seperti sasirangan pewarna alami, dengan narasi budaya dan proses yang organik, memiliki posisi strategis untuk masuk ke pasar ini bukan sebagai produk massal, tetapi sebagai produk kelas atas yang bernilai cerita.
Para pembeli maupun kolektor dari luar negeri saat ini mencari produk tekstil yang “punya jiwa”. Mereka tidak tertarik dengan kain etnik biasa yang diproduksi secara massal. Lebih mencari barang yang langka, punya cerita budaya, dan bisa menjadi bagian dari gaya hidup sadar lingkungan.
Warna yang tidak seragam justru menjadi daya tarik. Warna alami seperti merah dari secang atau biru dari daun indigo sangat unik. Karena sifatnya tidak selalu konsisten, tiap produk jadi benar-benar one of a kind. Itu yang dicari pelanggan.
Namun, menjadi unik saja tidak cukup. Untuk bisa bersaing di pasar premium, kualitas produk harus dijaga. Konsistensi warna, ketahanan terhadap pencucian, kualitas bahan dasar kain, hingga penyelesaian akhir seperti jahitan dan kemasan menjadi sangat penting.
Itulah tantangan yang kini dihadapi para pengrajin sasirangan di Kalimantan Selatan. Tidak semua memiliki akses terhadap pelatihan pewarnaan alami yang baik, atau kemampuan untuk menghasilkan produk sesuai standar ekspor.
Masalah utamanya adalah ketahanan warna. Pewarna alami itu indah, tapi kalau tidak diproses dengan benar, bisa cepat puda. Dari segi harga, sasirangan pewarna alami memang lebih tinggi. Jika sasirangan biasa dijual mulai Rp150.000 per potong, kain dengan pewarna alami bisa mencapai Rp500.000 hingga Rp1.000.000, tergantung kompleksitas motif dan jenis bahan. Namun harga ini belum sebanding dengan potensi nilai jualnya di pasar Eropa. Kalau dikemas sebagai syal atau outerwear dengan desain kontemporer, harga bisa naik 5 hingga 10 kali lipat di Eropa. Tapi tentu harus dibarengi dengan sertifikasi bahan, pengemasan yang menarik, dan storytelling yang kuat.
Peluang sasirangan pewarna alami untuk menembus pasar internasional tidak bisa dilepaskan dari pentingnya kolaborasi. Para pengrajin perlu didampingi oleh desainer, pelaku ekspor, hingga pemerintah daerah yang mampu menjembatani antara tradisi dan tren global.
Di Kalimantan Selatan, sejumlah pelatihan telah digelar untuk mendukung pengrajin beralih ke pewarna alami. Pemerintah kota Banjarmasin misalnya, secara rutin mengadakan pelatihan teknik pewarnaan alam dan pengolahan limbah ramah lingkungan.
Namun tantangan terbesar tetap ada pada hilirisasi: mengubah kain menjadi produk siap jual yang sesuai dengan selera pasar global. Perajin tidak bisa berjalan sendiri. Harus ada unit desain, pemasaran, dan distribusi yang bekerja sama.
Dengan desain yang tepat, sasirangan bisa menjadi busana siap pakai yang tidak hanya tampil menarik, tetapi juga mengusung misi lingkungan dan pelestarian budaya. Beberapa desainer lokal telah mulai menampilkan koleksi sasirangan pewarna alami dalam format busana kontemporer, mulai dari kimono, syal, hingga dress semi-formal.
Sasirangan tidak perlu bersaing di ranah fast fashion. Justru kekuatannya ada pada produksi terbatas, teknik tradisional, dan keunikan visual yang tidak bisa dicetak ulang secara massal. Itulah nilai jual yang bisa menempatkannya sejajar dengan produk tekstil etnik high-end dari Jepang, Peru, atau India yang kini banyak mengisi butik-butik kecil di Eropa.
Dengan kualitas yang dijaga, cerita yang diperkuat, dan branding yang tepat, tidak mustahil sasirangan pewarna alami akan menjadi bagian dari etalase butik di Amsterdam, Milan, atau Copenhagen bukan hanya sebagai karya budaya, tapi sebagai simbol gaya hidup yang sadar, elegan, dan berkelas.





Post a Comment